Thursday 21 April 2016

[Book Review] Memorabilia - Sheva

Source : Twitter
Judul Buku : Memorabilia
Penulis : Sheva
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Maret 2016
Harga : Rp62,000
Tebal : 294 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-291-124-1


Jingga membangun bisnis majalah online Memorabilia bersama Januar dan Karsha. Media ini memuat beragam kisah kenangan di dalam barang-barang yang hendak dijual atau diberikan kepada pembaca yang tertarik.

Namun, bisnis itu sedang di ujung tanduk. Jumlah pembaca menurun seiring dengan berkurangnya pemasukan iklan yang menjadi tulang punggung Memorabilia. Di saat sulit itu, datang Pak Pram membawa proyek besar. Ia ingin menjual gedung bioskop tua miliknya dengan segudang kisah kenangan. Semua bersemangat, kecuali Jingga. Ia selalu berusaha menolak tawaran Pak pram. Di matanya, bioskop itu menyimpan trauma yang sangat mengerikan, yang selalu ia simpan sendirian.

Sebenarnya Jingga dilema, antara ingin menyelamatkan Memorabilia, atau terus melayani ketakutan masa lalunya. Selama ini Jingga membantu banyak orang melepaskan kenangan pahit, tetapi tidak mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kalutnya Jingga, Januar mencoba masuk lebih dalam ke kehidupan gadis itu. Ia berusaha meyakinkan Jingga agar berani melepas kepedihan selama ini, bersamanya.

***

Hal yang paling saya suka dari buku-buku Kak Sheva adalah gaya menulisnya. Narasi yang sedikit sendu tapi sama sekali tidak menye-menye—justru menghangatkan hati pembacanya, serta percakapan yang apa adanya. Beneran deh, kalimatnya bukan yang bertebaran quotes gitu, tapi di dalam kesederhanaannya kita bisa mengangguk setuju dan merasa terhubung dengan tokoh-tokohnya tanpa merasa digurui.

Saya tidak tahu perumpamaan apa yang tepat untuk menggambarkan tulisannya, yang jelas bukan “lembut seperti marshmallow”, karena saya sendiri sebetulnya belum pernah makan marshmallow :p Whatever it is to describe her writing style, there’s this lovely feeling everytime i read her books.

Dan saya senang kembali menemukan hal-hal yang saya suka mengenai tulisannya di Memorabilia

Buku ini menceritakan tentang Jingga, seorang founder webzine Memorabilia dengan tagline medium untuk melupakan, yang tidak bisa berdamai dengan kenangan buruknya sendiri. Memorabilia dirintis bersama dua sahabatnya, Karsha dan Januar, dimaksudkan bagi orang-orang yang ingin melupakan kenangan mereka dengan menjual benda-benda yang sekiranya terlalu berharga untuk berakhir di tempat sampah atau menjadi abu karena dibakar, dan mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang lebih bernilai—pengingat atau pelajaran—bagi orang lain. Masalah muncul ketika majalah ini hampir kehilangan iklan yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Saat itu sebetulnya ada jalan keluar, ada Pak Pram yang ingin menjual bioskop miliknya. Tetapi hal itu mengharuskan Jingga mengorek masa lalu dan mimpi buruknya sejak kecil.

Jingga adalah seseorang yang tegas, ceria, tapi juga di sisi lain sangat tertutup akan hal-hal yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Bukan karakter yang sempurna, tapi bisa membuat kita memahaminya. Dua karakter utama lain, Karsha dan Januar juga menarik. Karsha seorang sahabat yang jujur, dan tidak pernah pasrah atau mengiyakan saja apa pun yang dikatakan Jingga. Tanpa dia, Jingga pasti tetap keras dengan pendiriannya. Dan Januar.. tidak ada penggambaran istimewa tentangnya secara fisik. Dia biasa-biasa saja, bahkan anggapan Jingga pun begitu. Tapi Januar adalah favorit saya, karena dia selalu ada, sekaligus memberi Jingga ruang yang dibutuhkan.

Beberapa bab awal setelah awal pertemuan dengan Pak Pram terasa sedikit lambat, tapi menurut saya alur tersebut bertujuan untuk build-up cerita serta karakternya, alhasil bab-bab akhir terasa sangat emosional karena twist yang disajikan.

Oh iya, tidak seperti dua buku Kak Sheva lainnya, Memorabilia ditulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dan yang paling menarik, buku ini ditulis dalam universe yang sama dengan buku pertama Kak Sheva, Blue Romance.

Ketika hampir sampai separuh cerita dan saya belum menemukan benang merah cerita ini dengan Blue Romance—selain bahwa kedai kopi tersebut merupakan penyedia snack dan kopi bagi gathering Memorabilia, saya sedikit kecewa. Tapi di sepertiga akhir saya baru sadar, walaupun di buku ini bukanlah pemeran utama, Blue Romance tetaplah menjadi saksi kisah-kisah pengunjungnya. Apalagi di bab terakhir, ada satu memorabilia yang membuat saya langsung membaca ulang salah satu cerita di Blue Romance untuk memastikan, dan bingo! Ternyata benar! Hehe. Seandainya di kota saya ada tempat-tempat seperti Blue Romance, Bibliomania, bahkan Bahagia Theater, saya pasti akan sering kesana.

Semua kisah yang mengiringi masing-masing memorabilia pemiliknya sangat unik. Selain cerita tentang Bahagia Theater, saya paling suka cerita tentang Sofia. There’s always something sentimental about school and the memories it carries, deciding something for your future, and long-lost dreams.

Berhubung belum ada database-nya di Goodreads sampai saya selesai menulis ini, saya kasih Memorabilia bintang-bintang di angkasa aja deh. Gila nggak lucu banget.

This is a bittersweet story about painful memories, loss, making peace with your ghost, and letting go. There’s no sugarcoating here, but for me, it deserves 5 stars. Saya memang sesuka itu dengan buku ini :D Tidak ada sesuatu yang sangat dramatis, tapi lebih pada bagaimana proses Jingga pelan-pelan meninggalkan kenangan masa kecilnya yang mengerikan, dan pilihan masing-masing orang untuk menghadapi kenangan pahit mereka, Ada banyak sekali post-its yang saya sematkan di halaman-halamannya, sampai bingung yang mana yang akan saya tulis di sini. Tapi kalimat yang diucapkan Januar inilah yang paling saya suka :

“Kesedihan nggak bisa dipindahtangankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Perasaan kayak duka itu justru harus selalu ada, supaya... supaya manusia jadi makin... manusia? Makanya, kenapa shared sorrow is a half sorrow, karena yang sebagiannya lagi memang nggak akan pernah hilang.”

Memorabilia adalah salah satu buku yang membuat saya tidak akan rewel ke penulisnya untuk cepat-cepat merilis karya baru, karena seperti 3 tahun jarak antara Blue Romance dan Memorabilia, saya rela menunggu 3 tahun lagi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang sama berkesannya.

[Book Review] Sunset Holiday - Nina Ardianti & Mahir Pradana

Source : Goodreads
Judul Buku : Sunset Holiday
Penulis : Nina Ardianti, Mahir Pradana
Penerbit : Gagas Media
Terbit : 2015
Harga : Rp60,000
Ukuran : 13x19 cm
Tebal : 470 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 9797808181


“We are all strangers until we meet.”

Jatuh cinta dan bertemu denganmu tidak ada dalam rencana perjalananku. Namun, di perjalanan sejauh ini, kamulah hal terbaik yang terjadi kepadaku. Aku menebak-nebak di mana akhir senyum manismu yang menghangatkan.

Hal paling menyakitkan dari jatuh cinta adalah kehilangan setelah memilikinya. Karena itulah, aku tidak berani berharap banyak. Kita hanyalah dua orang asing di tempat asing. Akan lebih banyak risikonya jika aku memutuskan untuk jatuh cinta.

Jika aku tidak akan menjadi bagian dalam sisa perjalanan hidupmu, bisakah kamu mengingatku sebagai bagian terbaiknya? Aku tidak berani menanyakannya karena diam-diam kutahu tujuan terakhir kita ternyata tak sama.

Kita kemudian bukan lagi dua orang asing di negeri asing. Namun, mengapa sakit ketika mengingat ternyata rasa ini terasa lebih asing daripada sebelumnya?

***

Audy dan Ibi bertemu di Paris, kota yang menyimpan banyak pesona cinta. Karena impulsif, Ibi mengikuti Audy melakukan perjalanan keliling Eropa. Entah di Praha, Roma, atau Venezia, mungkin di sanalah cinta menyapa. Namun, apakah kebersamaan singkat itu berarti banyak jika sejak awal tujuan akhir mereka ternyata tak sama?

***

“Ketemu kamu tidak ada di dalam skenario perjalananku. Tapi, di perjalananku sejauh ini, kamulah hal terbaik yang terjadi kepadaku.”

Itulah yang Ibi dan Audy rasakan untuk satu sama lain setelah dua minggu menjelajah Eropa bersama. Berawal dari niat impulsif Ibi untuk mengikuti perjalanan Audy yang sedang solo traveling, setengah tidak tega melihat gadis itu seperti anak hilang di benua yang asing baginya, petualangan mereka dimulai. Banyak permasalahan kecil dan kesalahpahaman yang terjadi, selayaknya yang dialami dua orang yang baru saling mengenal tapi menghabiskan terlalu banyak waktu bersama-sama. Dalam waktu sesingkat itu pula keberadaan satu sama lain membuat mereka sama-sama terbiasa.

Sunset Holiday mengangkat tema besar film Before Sunrise, tapi menurut saya cenderung ditulis dengan formula seperti film-film romantic-comedy. A light yet entertaining read. Not to mention the fluff! Of course in a good way. Rasanya hampir semua yang ada di sini disajikan dengan pas. Ada flirting yang cute, tempat-tempat yang indah beserta deskripsinya yang detail—kayaknya memang penulisnya pernah ke tempat-tempat itu sih (hiks), dan tentu saja, percakapan ringan yang sekali waktu mengarah ke pembicaraan yang lebih dalam.

"Karena ibarat jalan panjang, hal-hal nggak enak itu adalah polisi tidur atau lubang di jalan. Memang membuat perjalanan kita melambat dan nggak enak, tapi lihat sisi positifnya, dengan jalan lebih lambat, kamu lebih bisa menikmati pemandangan. Jadi, jalanin aja. Nanti juga kamu akan menikmatinya.”

Sebenarnya Sunset Holiday sudah cukup lama ada di rak buku saya, bahkan sepertinya sejak awal terbit karena saya dapat versi yang bertanda tangan. Tapi baru belakangan ini saya tergerak untuk membacanya karena habis baca ulang novelnya Mbak Nina yang Restart. Covernya kayak es jeruk (again, in a good way, seger banget warnanya) XD

Tadinya saya pikir ini menceritakan tentang film yang dibintangi oleh Fedrian Arsjad (dari novel Restart)—semacam script-nya atau entah apa yang ada hubungannya dengan film itu—karena judulnya sama, tapi ternyata saya salah.. bukan berarti tidak akan ada kejutan, lho. Siap-siap saja! :)

Saya pernah membaca tulisan Mbak Nina sebelumnya dan suka, jadi mungkin saya sudah terbiasa dengan sudut pandang Audy di sini. Tapi saya baru sekali ini membaca tulisan Mas Mahir, dan sama sekali tidak kesulitan untuk ‘beradaptasi’ dengan kedua sudut pandang Audy dan Ibi yang bergantian. Saya memang belum banyak membaca novel-novel duet penulis, tapi karena pernah membaca novel duet Mbak Nina yang lain, jadi saya bisa menilai kalau chemistry di Sunset Holiday lebih terasa dari yang sebelumnya. Entah karena ditulis secara bergantian (kalau tidak salah di novel satunya masing-masing sudut pandang berdiri sendiri, tapi berkaitan), atau karena Ibi dan Audy memang dalam suasana liburan sehingga interaksi mereka terasa lebih kasual dan lebih ‘hidup’.

Banyak tokoh-tokoh sampingan yang menarik, seperti si kembar Akemi dan Akira (oh ya di halaman ketika Ibi dan Audi pertama kali mengunjungi apartemen mereka sepertinya ada kesalahan. Disitu tertulis: Pintu dibuka, lalu seorang pemuda Indonesia sebayaku melangkah keluar, padahal Akira dan Akemi asli Jepang. Semoga di cetakan selanjutnya kekurangan ini bisa diperbaiki). Selain mereka, saya juga suka dengan Didot! Walaupun diceritakan secara singkat dan kesannya hanya lewat, sepertinya menyenangkan kalau punya teman seperti dia. Pengertian dan baik banget, Didot juga tegas, tapi pemaaf, dan selalu punya solusi atas keteledoran Ibi.

Cerita tentang orang asing yang tanpa sengaja jalan hidupnya bersinggungan hampir selalu menarik perhatian saya, dan Sunset Holiday bukanlah pengecualian. Tentu ini hanya masalah preferensi, karena banyak sekali alternatif ending yang mungkin kita bayangkan selama membacanya. Jadi, meskipun yang seperti ini bukan kesukaan saya, namun karena disampaikan dengan sangat menarik, well, what’s not to like? 4 out of 5 stars it is.

And afterall, in between deadlines and (what it seems like) never ending revisions, it’s just nice to read something that takes your mind half the world away. Recommended banget untuk teman liburan :D

Books I Want To Read This Year

Sorry for the blurry picture, my camera sucks :|
I realized that it’s been days since I made this blog and all I do up until now is moving my book reviews here (did it just yesterday and I have no idea why did i make a fuss about it heheh). Haven’t made any proper opening post, so here it is!

But it’s not like anyone’s gonna rea—

Hello?

*knock knock*

Oh, so i’m right.

(It’s a good thing anyway, so I can blab whatever I want.)


Okay.

So.. being on this site all over again is quite like revisiting my adolescent years (oh, glory). I was here when I was 13, circa 2008 but then decided to delete my blog for good in 2010 due to embarrassing content back then lol. I used to post book reviews, movies, et cetera BUT I fangirl(ed?) too much over Disney Stars, so, yeah. #thereisaidit

(Well, it’s 2016 which means I’m in my legal age already and still fangirl but let’s not talk about that)

And now I think why not start a new one, because it’s easier to leave a trace on posts that I like :D Thank God apparently I only deleted my blog and still have the account. Sooo.. instead of the classic, boring intro, I would rather share the books that I’d love to—plan to read this year.

Haruki Murakami
Ever since I read one particular quote from Norwegian Wood a few years ago, I was so eager to read, at least, one of his books. I just haven’t got the chance to and basically no idea of which should I read first. Last year I was this close to buy The Strange Library (UK Version, with beautiful yet mysterious cover), but cancelled the down payment and bought some YA instead, because I thought it was too thin.

Some people suggested me to read Norwegian Wood first since it’s the simplest Murakami’s book but I am also interested with 1Q84 so I’m still torn between those two ;_; But I (hopefully) will definitely read one of them later this year.

Quiet - Susan Cain

If anyone ever looked at my Goodreads shelves, they would only have found one non-fiction book—Who Moved My Cheese?—and the fact that it did not impress me. That’s what I have always had in mind since forever ago, that self-help books are pointless. But I’m trying to change it now.. maybe i just yet to find that kind of book that fits me.

I see that Quiet is well-researched and seems good, so I decided to give it a try. I already have the book, but still looking for the time to savor it.

Never Let Me Go - Kazuo Ishiguro
Once upon a time, I promised myself I was going to do all my work gracefully, punctually, and without procrastinating. But then I discovered Buzzfeed and I failed to do the third one. Long story short, I came across the list of 65 books you need to read in your 20s and Never Let Me Go pique my interest so I bought it and I can’t wait to read it!

I guess that’s all, because I’m afraid that if I put more books on the list it will just end up being a graveyard. Maybe just add some classics, like To Kill A Mockingbird or Catcher In The Rye. I actually also want to read some of Indonesian author’s books, lately I’m kind of interested in Indonesian literary, so maybe i will read them, too.

Anyway, how do people usually end the non-review posts? Is it just “bye” or is there some fancy way to do it?

Well, since I am new here, I will just go with~~

Until next time!

Tuesday 19 April 2016

[Book Review] A Monster Calls - Patrick Ness

Source : Google
Judul Buku : A Monster Calls (Panggilan Sang Monster)
Penulis : Patrick Ness, Jim Kay (Ilustrator), Siobhan Dowd (Ide Cerita)
Penerjemah : Nadya Andwiyani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Februari 2016
Tebal : 216 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-03-2081-6


Sang Monster muncul persis lewat tengah malam.
Seperti Monster-monster lain.

Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor.

Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan...

Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor.

Dia menginginkan kebenaran.
***

Kayaknya untuk sinopsis.. blurb-nya sudah menjelaskan dengan sangat baik. Kalau dijabarkan lebih lanjut kemungkinan besar akan jadi spoiler, hehe. Dan berhubung saya baca versi terjemahan dan ini pertama kali saya membaca tulisan Patrick Ness, saya tidak bisa berkomentar banyak tentang gaya bahasanya. Tapi saya suka terjemahannya karena tidak terasa kaku. Hanya saja, ada sedikit typo di halaman 24, tapi sama sekali tidak mempengaruhi kalimat, kok.

Saya tidak tahu A Monster Calls termasuk kategori apa, tapi rasanya kalau dibaca anak-anak, ceritanya terlalu sedih :( Even though this book did not make me cry like what it did to a lot of people, it was a real sad story. Saya tidak menangis ketika membaca A Monster Calls, tapi harus saya akui rasanya napas saya jadi lebih berat setiap kali membayangkan anak seusia Conor menanggung semuanya sendiri. Beberapa jam setelah saya menutup buku ini pun saya masih termenung dan mencerna kembali keseluruhan ceritanya. Untuk Conor, jelas keadaannya saat itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan sekolah yang seharusnya bisa menjadi tempat yang sedikit normal untuknya dengan belajar dan berteman sebanyak-banyaknya juga ternyata menjadi tempat yang sama kerasnya T.T

“Meskipun tampak luar biasa, waktu terus bergerak maju bagi seisi dunia. Seisi dunia yang tidak menunggu.”

Buku ini memang menceritakan tentang Conor, anak laki-laki berusia 13 tahun yang ibunya mengidap kanker. Tapi jika kita lihat lebih jauh, kisah ini juga menjadi semacam tamparan untuk orang dewasa yang membacanya.

“Jawabannya adalah, tidak penting apa yang kaupikirkan, kata sang monster, karena pikiranmu akan saling bertentangan seratus kali setiap harinya. Pikiranmu akan memercayai kebohongan yang menenangkan sekaligus mengetahui kebenaran-kebenaran menyakitkan yang membuat kebohongan itu diperlukan. Dan pikiranmu akan menghukum dirimu karena memercayai keduanya.”

What I learned from this book is that it is okay to admit your weakness. And you don’t have to say that everything’s alright all the time because in the end, denials can be something bigger and destructive: It can be the monsters in your head.

“Marahlah seperlumu,” kata Mum. “Jangan biarkan siapa pun melarangmu. Tidak nenekmu, tidak ayahmu, tidak seorang pun. Dan kalau kau perlu memecahkan sesuatu, demi Tuhan, pecahkanlah dengan keras sampai berkeping-keping.”

*dheg*


Overall, saya suka premisnya. Semacam representasi lain dari “the monster is not under your bed, it’s the one in your head”. Karena monster yang dihadapi Conor memang bukan jenis monster menyeramkan yang menyerang manusia atau menghancurkan desa seperti dongeng-dongeng yang sudah lama kita kenal, dia hanya menuntut sesuatu yang lebih sederhana, sekaligus lebih rumit, yaitu kebenaran. 

“Kisah adalah makhluk liar, kata sang monster. Begitu kau melepaskan mereka, siapa yang tahu kekacauan apa yang mungkin mereka ciptakan?”

Ilustrasinya juga indah sekaligus kelam, dan bikin saya makin pengen baca Harry Potter Illustrated Edition karena ilustratornya sama. A Monster Calls lebih saya rekomendasikan untuk pembaca berusia Young Adult dibanding anak-anak.

Oh ya, waktu browsing tentang A Monster Calls, ternyata tahun ini filmnya akan rilis dan berikut trailer pertamanya yang baru keluar beberapa hari yang lalu! :)

[Book Review] A untuk Amanda - Annisa Ihsani

Source : Google
Judul Buku : A UNTUK AMANDA
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret 2016
Harga : Rp60,000
Ukuran : 13.5x20 cm
Tebal : 264 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-605-03-2631-3
Seri Young Adult GPU


Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
***

Orang-orang pasti menganggap hidup Amanda sempurna. Dia sangat pintar, dengan nilai A yang selalu menghiasi rapornya, dia punya lingkaran pertemanan yang menarik: Klub Komputer yang berisi anak-anak pintar sepertinya, dia juga bisa dekat dengan Helena dan teman-teman populernya, dan ada pula Tommy, sahabat sejak kecil yang belakangan disadarinya menganggapnya lebih dari sahabat. Dia juga bukan anak yang bertingkah macam-macam sehingga dapat mengecewakan Ibu yang menjadi tulang punggung mereka.

Apa yang bisa salah dalam hidupnya?

Sampai pada suatu hari dia menyadari, bahwa mungkin apa yang didapatkannya hanya berupa keberuntungan. Dia tidak benar-benar pintar, tapi karena terlanjur mendapat nilai A untuk seluruh pelajaran yang diambilnya pada semester sebelumnya, guru-guru menganggapnya pintar, sehingga jawaban apapun yang dilontarkannya atas pertanyaan mereka tidak pernah diragukan.

Karena pikiran itu, lama-lama dia tertekan dan kehilangan konsentrasinya akan banyak hal dan hampir mengacaukan masa depannya dengan membuang kesempatan langka yang sudah di depan mata. Amanda berusaha menjelaskannya pada Tommy, namun anak itu malah menganggap Amanda egois dan haus akan pujian, hubungan mereka pun menjadi renggang.

Akhirnya Amanda memutuskan untuk meminta bantuan Ibunya. Begitu saja, hingga dia akhirnya menjadi pasien Dokter Eli dengan jadwal konsultasi seminggu sekali dan Zoloft—antidepresan yang harus dikonsumsinya setiap pagi.

“Bagai ditampar, aku akhirnya mengerti. Selama ini aku menghabiskan begitu banyak waktu berusaha keras membuktikan diri pada semua orang. Namun tidak ada yang peduli; itu tidak berpengaruh terhadap mereka. Satu-satunya yang peduli adalah diriku sendiri. Hanya aku yang peduli universitas mana yang kumasuki. Kalau begitu, bukankah sebaiknya aku memilih yang benar-benar kusukai?”
Akankah hidup Amanda bisa kembali dijalannya dengan normal dan bisakah dia berdamai dengan dirinya? Bagaimana hubungannya dengan orang-orang sekelilingnya yang dia anggap mengecewakannya, dan mungkin juga kecewa padanya?

***

Pertama kali membaca blurb novel ini beberapa minggu lalu, saya langsung tertarik. Tapi saya masih harus sedikit bersabar karena saat itu belum diterbitkan. Dan ketika kemarin tidak sengaja melihat novel ini di tumpukan new release, tanpa ragu saya langsung membawanya ke kasir. Saya termasuk tipe orang yang jarang membeli novel yang baru diterbitkan tanpa baca review sana-sini jika karya lain penulisnya belum pernah saya baca. Namun, ternyata saya membuat pilihan yang tepat untuk langsung membelinya, karena bahkan sebelum setengahnya saya selesaikan, ini jadi salah satu young adult favorit saya. Karena termasuk tipis—tidak sampai 300 halaman, A untuk Amanda saya selesaikan dengan sekali duduk.

Keunikan novel ini adalah gaya bahasanya, ditulis seperti bahasa terjemahan, dengan kultur yang bukan seperti di Indonesia (tahun ajaran baru yang dimulai di bulan September, suburban yang sepertinya betul-betul “damai”) namun banyak hal-hal yang juga sangat Indonesia, misalnya nama guru-guru di sekolah Amanda. Latarnya memang murni dibuat penulisnya, dengan kata lain tempat-tempat yang ada di novel ini tidak benar-benar ada. Namun, hal itu tidak membuatnya terasa dibuat-buat. Saya suka cara bercerita penulis yang mengalir dengan sudut pandang orang pertama yang membuat saya benar-benar percaya bahwa “Amanda” lah yang menceritakan kisahnya pada saya.

Favorit saya, tentu saja karakter-karakternya. Amanda dan isu yang dialaminya merupakan hal yang relatable dengan usia young adult, tetapi masih jarang dibahas oleh novel lain, yaitu impostor syndrome. Dia adalah seorang siswa SMA yang sangat pintar, bahkan bisa dibilang jenius, tapi penulisnya sama sekali tidak terkesan trying too hard atau berusaha menampilkan seberapa pintar dia dalam menyelipkan pengetahuan-pengetahuan fisika dan astronomi lainnya dalam candaan, percakapan, dan pemikiran Amanda. Dia juga seorang feminis (lagi-lagi isu yang menurut saya menarik untuk diangkat di dalam YA). Walaupun pintar, di luar permasalahan yang dialaminya, dia tetap saja anak remaja seumurannya ketika dihadapkan pada masalah percintaan :p

“Itu karena Tommy bukan tipe anak yang akan menelepon gadis incarannya setiap lima menit sekali. Dan itu bagus. Ada anak laki-laki yang tidak punya kehidupan sendiri, dan bertingkah seakan dunianya berputar mengelilingimu. Kau tidak butuh anak laki-laki seperti itu.” 

“Oh, tidak, kurasa aku ingin punya cowok yang menjadikanku pusat alam semestanya,” kataku.

Karakter lain juga membuat saya terkesan, tadinya saya pikir Helena dan teman-temannya akan jadi tipikal anak populer yang sering kita jumpai di fiksi tentang anak SMA, tapi ternyata mereka tidak sedangkal itu. Tommy merupakan karakter yang sangat manusiawi, hanya karena dia mengenal Amanda hampir seumur hidup, bukan berarti dia bisa memahaminya. Konflik Tommy dan Amanda, juga penyelesaiannya, terasa sangat pas.

Bab-bab pamungkas novel ini dieksekusi dengan sangat baik, dan itu membuat cerita di novel ini masih terbayang-bayang bahkan sampai saya bangun tidur pagi tadi.

“Dan dari situlah aku belajar bahwa kau selalu bisa berjalan pergi alih-alih menuruti kemarahan dan membuat lebih banyak masalah lagi. Dan bahwa temanmu akan tetap menjadi temanmu, terlepas dari perkataan orang mengenai kondisi mentalmu.”
Kebanyakan seri Young Adult bercerita tentang kehidupan tokoh-tokoh yang beranjak dewasa, atau selepas bangku SMA, namun di novel ini tokoh Amanda adalah siswi SMA berusia 17 tahun. Mungkin karena permasalahan tokohnya yang kompleks dan sangat angsty, jadi novel ini dikategorikan ke dalam Young Adult dan bukan TeenLit. But still, this novel impressed me, a lot :D Saya dengan senang hati memberikan 4 dari 5 bintang untuk novel ini, untuk cerita yang mengesankan dan kalimat-kalimat yang cerdas.
“Beberapa orang tidak pernah melihat ke atas. Mereka tidak pernah bertanya-tanya apa ada kehidupan lain di luar sana, tidak pernah memperhitungkan bahwa dilihat dari salah satu titik itu, planet ini hanyalah satu titik lainnya—tidak unik maupun istimewa, dan jelas bukan pusat alam semesta.

Dan untuk waktu yang lama, aku pun begitu. Aku lupa menghargai kenyataan bahwa atom-atom yang menyusun tubuhku berasal dari bintang-bintang. Dan setelah 13.8 miliar tahun, aku beruntung bisa hidup di sini. Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatku merasa berharga; aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri.”
Penggemar novel tentang mental illness issue atau fiksi yang dibumbui masalah psikologi dan feminisme tentu tidak boleh melewatkan A untuk Amanda!

(This review can also be viewed here)

[Book Review] Melody & Mars - Mia Arsjad

Source : Goodreads
Judul Buku : MELODY & MARS
Penulis : Mia Arsjad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2015
Harga : Rp58,000
Ukuran : 14 x 20 cm
Tebal : 288 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-03-2002-1
Seri Young Adult GPU

 
Hidup Mel itu sudah terjadwal. Segalanya harus teratur, tepat waktu, dan sesuai jalur demi masa depan. Nggak ada waktu buat santai dan main-main. Mel harus lulus tepat waktu, lalu bekerja untuk membantu Ibu jadi tulang punggung keluarga.

Lalu… dengan acara aneh bin konyol, Mel bertemu Marshall, si artis kurang terkenal.

Cowok itu kebalikan dari segala sifat Mel. Marshall yang easy going, santai, dan ceria, seolah hidupnya mulus nggak ada beban.

Seumur hidup Mel belum pernah seakrab ini dengan makhluk bernama laki-laki. Marshall adalah pengalaman baru. Entah berapa kali cowok itu bilang supaya Mel hidup dengan santai dan rileks. Dan entah kenapa, bisa-bisanya Mel berkali-kali nurut dengan “ajakan” santai cowok itu.

Dia selalu sukses bikin Mel yang minim pengalaman soal cowok jadi tersipu-sipu, salah tingkah. Meski saat Mel sedang terjebak masalah mengerikan.

Sampai tiba-tiba Mel tahu, hidup Marshall nggak semulus itu. Di balik segala keceriaannya, Marshall menyimpan rahasia yang membuat Mel merasa dibohongi habis-habisan, dipermainkan, dan dibodohi.


***

Novel ini menceritakan tentang Melody dan Mars, dua orang dengan kepribadian yang bertolak belakang dan dipertemukan dengan cara yang ajaib dan tidak biasa.

Melody adalah seorang yang sangat strict dan serius, apalagi terhadap masa depannya. Semua hal sudah terjadwal dan tidak ada yang boleh bergeser sedikitpun, terutama yang berhubungan dengan kuliahnya. Bahkan sampai jadwal fotokopi makalah dan beres-beres lemari pun sebisa mungkin tepat waktu. Pokoknya, dia harus cepat lulus untuk membantu ibunya yang seorang penjahit untuk menjadi tulang punggung keluarganya. Melody tahu apa yang dia mau dan akan berusaha keras untuk mencapainya.

Sedangkan Mars—Marshall, merupakan kebalikan dari Melody. Dia adalah seseorang yang santai, easy going, dan hidupnya ibarat air mengalir, dia ikuti saja kemana arah aliran air tersebut. Mereka bertemu ketika Melody mengira Mars akan bunuh diri karena dia sedang berjalan menuju tengah laut untuk mengambil sepatunya, sehingga dia berniat menghentikan Mars dengan memeluknya dari belakang.

“Hidup cuma untuk menjalankan perintah orang lain, itu sama aja nggak hidup. Hidup itu pilihan. Biarpun berat, kalau itu pilihan sendiri, kita pasti ikhlas dan sepenuh hati memperjuangkannya.”

Sampai pada suatu hari, Mars pindah ke perumahan Melody, dari situlah Melody tahu bahwa dia adalah skuter alias selebriti kurang terkenal yang digandrungi ibu-ibu tetangganya. Sejak saat itu Melody mulai dekat dengan Mars, cowok itu tidak segan-segan membantu ketika Melody mendapat masalah. Dia yang awalnya tidak pernah dekat dengan laki-laki, bisa nyaman berada di dekat Mars, begitupun sebaliknya. Namun, dibalik sikapnya yang santai, Mars ternyata punya rahasia besar tentang pilihan hidup yang harus dia perjuangkan, dan Melody merasa dibohongi ketika mengetahui rahasia itu.
***

Pembaca Teenlit dan Metropop pasti sudah tidak asing lagi dengan nama Mia Arsjad dan novel-novelnya yang bernuansa komedi. Ya, kali ini Kak Mia hadir dengan Young Adult pertamanya berjudul Melody & Mars, masih dengan ciri khasnya tersebut. Seperti seri Young Adult GPU lainnya, novel ini memiliki cover yang manis dihiasi detail yang berkaitan dengan isi cerita.

Narasi yang sederhana namun kuat, serta pilihan kata yang terkadang tidak biasa dan membuat kita tidak berhenti tertawa menjadi daya tarik utama novel ini. Intinya, Melody & Mars sangat refreshing diantara kebanyakan seri Young Adult yang kental dengan angst.

Karakterisasi novel ini juga kuat, Melody dan Mars bukanlah tokoh yang akan kita lupakan sesaat setelah membaca kisah mereka. Dan yang terpenting, mereka adalah karakter yang tidak sempurna, kegigihan Melody untuk secepat mungkin menyelesaikan kuliahnya, ternyata bisa menjadi bumerang yang menjadikannya naif dan nyaris celaka. Mars, karena sikapnya yang terlalu santai, juga nyaris kehilangan hal yang paling berharga bagi dirinya : kebebasan.

Tokoh-tokoh pendukung novel ini pun diceritakan dengan baik. Detail yang unik, seperti iklan kecap Marshall, celotehan dengan tambahan ‘bok!’ Darla, bahkan WhatsApp mereka yang terasa seperti nyata (dengan bahasa sederhana yang sering kita gunakan), membuat mereka menjadi tokoh fiksi yang tidak terlupakan.

Jika ada kekurangan dari Melody & Mars (menurut saya), hal itu mungkin hanya akan disadari apabila sudah membaca lebih dari 3 novel karangan Kak Mia, yaitu dinamika persahabatan tokoh utama dan teman-temannya yang hampir selalu sama. Walaupun begitu, hal tersebut tidak mengurangi keasyikan saya ketika membaca novel ini.

Salah satu kutipan yang paling saya suka di dalam Melody & Mars adalah :

“Saat kita dapat masalah, pasti kita berpikir kalau kita ini manusia paling menderita. Tapi itu nggak bener, Mars. Masih banyak yang hidupnya lebih susah dari kita. Waktu lagi sedih kita sering lupa bersyukur karena terlalu sibuk meratapi kesedihan. Daripada mikirin apa yang bikin kita sedih hari ini, mendingan kita cari apa yang bisa bikin kita bahagia hari ini.”

Novel ini seperti bukti, bahwa dunia young adult dan segala permasalahannya juga bisa disajikan dengan balutan tawa, bukan dilihat dari sisi ‘gelap’ saja. Melody & Mars tidak hanya menawarkan romance, tetapi juga cerita tentang keluarga, persahabatan, dan bagaimana perjalanan Melody dan Mars mencari jati diri mereka, untuk menjadi orang-orang yang lebih baik dari sebelumnya. 4 dari 5 bintang!

[Book Review] Hujan Bulan Juni : Novel

Source : Goodreads
Judul Buku : Hujan Bulan Juni : Novel
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Juni 2015
Harga : Rp50,000,00
Tebal : 144 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-0318-43-1


Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-meninpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.
***

Sebelumnya, saya belum pernah membaca karya Bapak Sapardi selain puisi, sehingga review ini sangat subjektif berdasarkan pandangan saya yang baru pertama kali berkenalan dengan novel beliau. Cerita yang disampaikan sederhana. Tentang Pingkan dan Sarwono, mereka saling suka, bahkan sudah mengantongi restu orang tua untuk menikah, tetapi tidak mau disebut berpacaran. Semua itu terhalang oleh keluarga besar Pingkan yang seperti menjodohkannya dengan seseorang yang lebih mereka anggap sesuai karena suku yang sama.

Ada juga tokoh lain, yang Sarwono anggap sedikit mengganggu hubungannya dengan Pingkan. Orang Jepang yang selalu menemani Pingkan selama studinya di Jepang. Tapi yang menjadi inti tetaplah Sarwono dan Pingkan. Novel ini dibuka dengan Sarwono yang senang karena sajaknya dimuat di dalam sebuah koran, dan ditutup dengan sajak-sajak tersebut. Walaupun tipis, saya butuh waktu cukup lama untuk menamatkan novel ini. Hampir seminggu, hehe. Karena walaupun sederhana, rasanya saya selalu perlu konsentrasi penuh untuk membacanya, dan akhir-akhir ini sulit sekali meluangkan waktu untuk membaca buku. *sigh*

Dialog-dialog dan penceritaan antar tokohnya sebenarnya tidak rumit, hanya ada beberapa kalimat yang sepenuhnya berbahasa Jawa tanpa ada catatan kaki yang berisi artinya, sehingga mungkin bagi pembaca yang tidak bisa berbahasa Jawa akan sulit dimengerti (untungnya saya orang Jawa) :D

Kadang pembicaraan Sarwono dan Pingkan hanya basa-basi, tetapi kemudian melebar ke hal-hal lain yang sedemikian luas, namun berbeda dengan mixed reviews yang menyatakan hal tersebut agak mengganggu, saya justru suka. Saya senang bisa membaca buku yang membuat saya lebih tahu, tanpa berusaha keras menjadi guru.

Satu yang membuat saya kecewa hanya ending novel ini. Dengan adanya Tiga Sajak tersebut, bagaimana nasib Sarwono akhirnya? Apakah dia akan senang dengan datangnya Pingkan? Saya suka open ending, hanya saja yang satu ini seperti tidak bisa ditebak-tebak karena menimbulkan banyak sekali tanda tanya yang tidak bisa mengerucut ke satu kesimpulan.

Atau, malah akan ada sekuel dari Hujan Bulan Juni : Novel? Let’s see :)