Wednesday 25 May 2016

[Book Review] Sylvia's Letters - Miranda Malonka

Source : Goodreads
Judul Buku : Sylvia's Letters
Penulis : Miranda Malonka
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2015
Harga : Rp50.000,00
Tebal : 200 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-031-525-6


Ada surat-surat yang takkan pernah dikirim. Ada surat-surat yang telah dikirim dan mungkin tak pernah dibaca penerimanya.

Hidup mengajari Sylvia tentang obsesi. Persahabatan mengajarinya tentang masalah. Dan Sylvia yakin semua orang bisa diselamatkan dari masalah hidup mereka.

Hingga ia bertemu dengan Anggara, yang mengajarinya tentang cinta yang melepaskan ikatan. Dan untuk pertama kalinya Sylvia menyadari bahwa ia tidak bisa menjadi penyelamat semua orang.

Terkadang peraturan keselamatan tidak lagi berlaku ketika berkaitan dengan obsesi dan cinta.

***

“Gara, tahukah kamu betapa tak inginnya aku mengakui bahwa aku membuang-buang banyak waktuku untuk menuliskan surat-surat ini? Apa yang harus kulakukan supaya aku tak merasa perbuatanku sia-sia dan salah? Mengapa aku menyesalkan tiap lembar kertas yang kutulis tangan ini? Haruskah aku berhenti?”

Sylvia adalah seorang gadis biasa, pelajar SMA yang merasa tidak terlalu menonjol di sekolah, namun suka dengan seni, khususnya melukis. Dia memiliki pemikiran-pemikiran yang jauh lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya dan dikelilingi sahabat-sahabat yang punya masalah masing-masing, dan cukup berat. Sylvia yang dewasa dan bijak selalu menemukan cara untuk menjadi “penyelamat” bagi mereka.

Suatu hari, ketika Sylvia menonton pertunjukkan kelas yang rutin dilakukan di sekolahnya, dia melihat orang itu : Gara, dan entah bagaimana, Sylvia seperti tersihir. Dia menyukai Gara. Mengamati setiap gerak-geriknya. Setelah beberapa kejadian, ternyata mereka bisa menjadi dekat dan merasa klik dengan satu sama lain. Bahkan, di awal-awal pertemanan mereka, percakapan yang biasa saja bisa dengan sangat natural melebar ke pembicaraan yang lebih intens.

Ketika tiba-tiba Gara pergi, apakah sikap “menyelamatkan” orang lain itu dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri?

“Sekarang aku nggak tahu lagi apakah kamu itu nyata atau cuma khayalanku saja. Satu saat kamu masih ada bersamaku, saat berikutnya kamu lenyap begitu saja. Inikah yang kamu sebut ‘nggak mau bikin Sylvi sedih’?”

***

Disajikan dalam format yang unik, Sylvia’s Letters membuat saya merasa lebih personal dalam mengenal Sylvia. Karena bukan hanya berupa surat-surat yang ditulisnya, ada juga surel dan beberapa surat pendukung lain yang berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Well.. tanpa surat-surat pendukung itu sebetulnya novel ini lebih cenderung jadi semacam diary, sih. Awalnya, saya pikir obsesi Sylvia adalah tentang Gara, entah dia diteror surat kaleng atau gimana (shallow sekali ya... tapi bercanda kok hehe). Saya tahu sebagian besar surat yang ada di buku ini adalah yang tidak terkirim, cuma nggak nyangka aja konfliknya sekompleks ini. Bukan hanya konflik yang dimiliki Sylvia, tapi juga teman-teman dekatnya.

Hal yang paling menonjol dari Sylvia adalah sifat dan pemikirannya yang sangat dewasa bagi anak seusianya. Pada salah satu percakapannya dengan Gara--menurut saya dia sangat 'klik' dengan Sylvia karena bisa menanggapi Sylvia dengan pemikiran yang tidak kalah menariknya--bahkan ada kalimat yang bikin saya yang sudah beberapa tahun lebih tua dari mereka sampai kesindir XD

“Kadang, lebih susah mencari tahu apa yang sebenarnya diri kita inginkan, daripada mencari tahu apa yang orang lain inginkan dari kita. Banyak sekali orang-orang seperti aku, Syl. Kamu ngerti kan? Orang-orang yang tak pernah sungguh-sungguh tahu apa bakat dan minatnya, mereka yang tak pernah menemukan suatu hal yang betul-betul mereka cintai. Mereka bersekolah, belajar eksakta sambil mengeluh, lalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, mengikuti kuliah-kuliah dengan setengah hati, hanya demi satu tujuan : meraih gelar sarjana dan bekerja delapan jam sehari di gedung perkantoran yang membosankan.”

Sebenarnya Sylvia tidak bisa dibilang terlalu gemuk. Teman-temannya pun bilang begitu. Dia juga sempat menuliskan bahwa dalam memilih baju, ukuran L kekecilan untuknya, tapi ukuran XL kebesaran. Tapi dia selalu ingin jadi lebih kurus, dan dia mengira Gara menganggapnya gemuk. Sehingga dari hari ke hari, obsesi tersebut menjadi semakin mengerikan sampai dia mengidap anoreksia yang parah.

Dari buku ini saya jadi makin sadar, kalau di usia segitu sebenarnya banyak banget tekanan yang datang dari diri kita sendiri karena, yah.. it’s like the world revolves around us and everything we feel is heightened. Jadi hal semacam ini bukanlah sesuatu yang asing, dan saya senang ada YA lokal yang mengangkat tema ini. Rasanya harus banget dibaca remaja seumuran mereka #berasatua. Soalnya, kadang bercermin dari fiksi jauh lebih ngena dibanding dari the so-called self help sih menurut saya :)) bisa mengasah empati juga; kalau dari diri seseorang aja tekanannya sudah begitu besar, kita sebagai orang luar nggak sepantasnya untuk nambahin dengan bilang hal-hal nggak baik tentang mereka.

“Jadi manusia bebas itu adalah menjadi diri sendiri dan tidak terbebani standar orang lain, sekaligus menghormati makhluk lain dalam upaya mereka untuk jadi diri mereka sendiri. Tidak mengusik, tidak diusik. Tak ada yang dirugikan.”

Angst-nya dapet banget. Sayangnya, hal yang paling saya suka—interaksi dan percakapan Sylvia dan Gara yang terasa natural—kurang dieksplor lebih dalam, padahal pada akhirnya mereka cukup dekat, tapi Sylvia lebih banyak menceritakan permasalahan teman-temannya yang sangat, sangat padat dalam Surat-surat yang Tidak Pernah Terkirim. Oh ya, saya berkali-kali penasaran dengan lukisan-lukisan yang Sylvia buat karena detail-nya juga menarik.

Yang bikin saya kurang sreg, kenapa orang tuanya sama sekali nggak tahu ya? Di surat-surat Sylvia untuk Gara, dia nggak banyak menceritakan tentang orang tuanya, dan ini bikin saya bertanya-tanya. Karena pada saat Sylvia dirawat di rumah sakit, mereka sangat khawatir. Tapi masa mereka nggak sadar ada yang berubah dari tubuhnya? Bahkan sahabat-sahabat Sylvia aja mengingatkan dia. Seandainya sedikit tentang orang tuanya lebih dikupas, pasti akan lebih lengkap.

Overall, saya suka sekali topik yang diangkat dan formatnya yang unik. Banyak juga hal-hal pada Sylvia yang mengingatkan dengan diri saya sendiri. Untuk suatu cerita yang sebenarnya “gelap”, cara penyampaiannya juga tidak terlalu suram. Dan Epilog-nya!!! SO. MANY. FEELS. 

4.5 dari 5 bintang untuk Sylvia's Letters!

“Hari ini aku sampai pada kesimpulan baru, bahwa sebetulnya semua orang di dunia ini gila, dalam level yang berbeda-beda, tidak ada orang yang sehat mental seratus persen. Tidak dengan kehidupan di Bumi yang carut-marut begini. Hati yang kerut-merut kebingungan adalah pertanda baik, yang akan mengantarkanmu pada kepribadian yang lebih mature. Aku teringat pada kata-katamu dulu, Gara : "Kalau kamu merasa bodoh, berarti kamu sedang melakukan hal yang benar."”

Tuesday 10 May 2016

[Book Review] Malam-malam Terang - Tasniem Fauzia Rais & Ridho Rahmadi

Source : Goodreads
Judul Buku : Malam-malam Terang
Penulis : Tasniem Fauzia Rais, Ridho Rahmadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Desember 2015
Harga : Rp65.000
Tebal : 246 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-032-454-8
 
Berawal dari kegagalan memperoleh nilai ujian akhir yang cukup untuk melanjutkan sekolah di SMA impiannya di Yogya, Tasniem, gadis yang saat itu baru 15 tahun, menantang dirinya untuk merantau ke luar negeri. Berbekal restu sang ibu yang rela menjual sepetak tanah, ia berangat ke Singapura melanjutkan sekolah dengan tekad memenangi apa yang “direbut” darinya.

Hidup di Singapura dan belajar di sekolah internasional mengantarkan Tasniem melihat dunia global. Di sisi lain, remaja belasan tahun ini juga didera cobaan hidup merantau; rindu keluarga, kesepian, terasing, dan uang pas-pasan seringkali merayunya untuk menyerah dan pulang.

Beruntung, Tuhan kirimkan tiga teman serantau; Cecilia asal China, Aarin asal India, dan Angelina dari Indonesia. Empat sekawan ini sekalipun berbeda dalam keyakinan dan banyak hal lain, berhasil melewati suka-duka dan sukses membangun persahabatan. Petualangan mereka mennjadi suguhan menarik sarat makna.

Mampukah Tasniem memenangi apa yang menjadi tekadnya? Mampukah ia menjadi bintang yang paling terang?
 ***

Malam-Malam Terang merupakan buku non-fiksi yang menceritakan kisah Tasniem, seorang anak 15 tahun yang merantau ke Singapura karena kegagalannya meraih nilai tinggi di EBTANAS SMP mengakibatkan dia tidak bisa masuk ke SMA yang dia impikan sejak dulu. Tentu saja awalnya dia kecewa, karena semasa bersekolah dia selalu mendapat rangking 5 besar. Namun, ketika berlibur ke rumah neneknya untuk menenangkan diri pasca pengumuman yang mengecewakan, Tasniem seakan mendapat petunjuk bahwa mungkin ada tempat di luar sana yang lebih baik untuknya, bahwa rencana Tuhan memang tidak bisa kita duga. Maka dari itu, kemudian dia merantau ke Singapura.

Perjalanan Tasniem hingga bisa sampai melanjutkan sekolah di Singapura tidaklah mudah. Awalnya, sang Ibu tidak menyetujui pilihannya karena biaya yang mahal. Walaupun akhirnya mengizinkan, ibunya harus menjual tanah demi biaya sekolah Tasniem.

Menurut saya, ini juga bisa jadi kritik bagi pendidikan di negeri ini, bahwa tidak seharusnya kesuksesan seorang pelajar hanya ditentukan dari beberapa hari ujian saja. Banyak sekali Tasniem-Tasniem lain di luar sana yang juga berprestasi tapi kurang beruntung di beberapa hari ujian sehingga tidak dapat melanjutkan ke sekolah yang mereka inginkan. Beruntung Tasniem bisa bersekolah di tempat yang lebih baik, tapi tidak semua orang mampu melanjutkan sekolah ke Singapura, bukan?

“Jadilah bintang yang paling terang kelak, jangan menyerah.”

Saya suka dengan perjuangan Tasniem di Malam-Malam Terang. Dia adalah seorang yang gigih. Dari awal hingga akhir buku, kita benar-benar bisa merasakan proses pendewasaan dirinya. Bayangkan, Tasniem yang awalnya gadis biasa saja, dan cenderung insecure—dia bahkan ketakutan ketika nyaris bertemu dengan teman-temannya yang populer di stasiun karena takut nilainya dihina—akhirnya bisa menjadi contoh bagi teman-temannya karena sifatnya yang disiplin dan pantang menyerah.

“Generasi muda seperti kamu, kelak akan diperlukan bangsa ini. Dengan merantau jauh demi ilmu, maka Tuhan punya alasan kuat mengapa. Dia akan memilihmu suatu saat kelak. Ya, karena kamu pekerja keras. Jadikan kegagalan sahabat terbaikmu, karena hanya dialah yang setia mengingatkan untuk selalu berusaha yang lebih baik. Tanpanya, kamu tidak akan pernah maju.”

Tasniem pernah sekali lagi gagal ketika awal SMA, tapi dia menjadikan hal itu pelajaran. Homesick? Jangan ditanya. Tiap kali merasa hidupnya di Singapura terlalu berat, dia selalu rindu rumah dan ingin pulang. Namun, dia selalu melibatkan Tuhan dalam segala urusannya, dan itu menguatkan dirinya. Ini menyebabkan Malam-Malam Terang cukup kental dengan nuansa Islami, karena Tasniem selalu menjalankan ibadahnya, dia juga dibesarkan di keluarga dengan agama yang kuat. Tapi jangan salah, buku ini dapat dibaca siapa saja karena persahabatan antara Tasniem, Cecilia, Angelina, dan Aarin juga cukup dominan di buku ini. Dan mereka sangat menjunjung tinggi toleransi. Sesuatu yang sepertinya lumayan langka sekarang ini :)
 
Oh ya, sebagai remaja belasan tahun, tentu saja Tasniem juga mengalami ketertarikan pada lawan jenisnya. Dan ini yang bikin saya penasaran untuk tahu lanjutannya di buku kedua, karena di sini, orang itu hanya diceritakan sepintas.

Ditulis dengan sudut pandang orang pertama dengan kesan yang mirip seperti diary Tasniem, banyak hal yang bisa kita contoh di Malam-malam Terang.

Walaupun begitu, secara teknis saya masih punya sedikit keluhan tentang buku ini, yaitu margin yang terlalu sempit. Belum lagi, spasi antar baris yang juga sangat rapat. Saya jadi cukup lama membaca buku setebal 246 halaman ini karena harus beradaptasi lebih dulu Semoga di buku selanjutnya ruang bagi tulisan di buku ini lebih lapang agar lebih nyaman dibaca.

“Jadikan kegagalan sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat. Mengapa? Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk berusaha lebih baik. Tanpa cermin itu kita tidak bisa melihat diri sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri.”

Overall, buku ini inspiratif dan memotivasi. Bagi kalian yang pernah atau sedang mengalami hambatan dalam mencapai cita-cita, Malam-malam Terang bisa dijadikan sebagai salah satu penyemangat diri, karena kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan kesuksesan yang tertunda :D