Tuesday 19 April 2016

[Book Review] A untuk Amanda - Annisa Ihsani

Source : Google
Judul Buku : A UNTUK AMANDA
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret 2016
Harga : Rp60,000
Ukuran : 13.5x20 cm
Tebal : 264 halaman
Cover : Softcover
ISBN : 978-605-03-2631-3
Seri Young Adult GPU


Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
***

Orang-orang pasti menganggap hidup Amanda sempurna. Dia sangat pintar, dengan nilai A yang selalu menghiasi rapornya, dia punya lingkaran pertemanan yang menarik: Klub Komputer yang berisi anak-anak pintar sepertinya, dia juga bisa dekat dengan Helena dan teman-teman populernya, dan ada pula Tommy, sahabat sejak kecil yang belakangan disadarinya menganggapnya lebih dari sahabat. Dia juga bukan anak yang bertingkah macam-macam sehingga dapat mengecewakan Ibu yang menjadi tulang punggung mereka.

Apa yang bisa salah dalam hidupnya?

Sampai pada suatu hari dia menyadari, bahwa mungkin apa yang didapatkannya hanya berupa keberuntungan. Dia tidak benar-benar pintar, tapi karena terlanjur mendapat nilai A untuk seluruh pelajaran yang diambilnya pada semester sebelumnya, guru-guru menganggapnya pintar, sehingga jawaban apapun yang dilontarkannya atas pertanyaan mereka tidak pernah diragukan.

Karena pikiran itu, lama-lama dia tertekan dan kehilangan konsentrasinya akan banyak hal dan hampir mengacaukan masa depannya dengan membuang kesempatan langka yang sudah di depan mata. Amanda berusaha menjelaskannya pada Tommy, namun anak itu malah menganggap Amanda egois dan haus akan pujian, hubungan mereka pun menjadi renggang.

Akhirnya Amanda memutuskan untuk meminta bantuan Ibunya. Begitu saja, hingga dia akhirnya menjadi pasien Dokter Eli dengan jadwal konsultasi seminggu sekali dan Zoloft—antidepresan yang harus dikonsumsinya setiap pagi.

“Bagai ditampar, aku akhirnya mengerti. Selama ini aku menghabiskan begitu banyak waktu berusaha keras membuktikan diri pada semua orang. Namun tidak ada yang peduli; itu tidak berpengaruh terhadap mereka. Satu-satunya yang peduli adalah diriku sendiri. Hanya aku yang peduli universitas mana yang kumasuki. Kalau begitu, bukankah sebaiknya aku memilih yang benar-benar kusukai?”
Akankah hidup Amanda bisa kembali dijalannya dengan normal dan bisakah dia berdamai dengan dirinya? Bagaimana hubungannya dengan orang-orang sekelilingnya yang dia anggap mengecewakannya, dan mungkin juga kecewa padanya?

***

Pertama kali membaca blurb novel ini beberapa minggu lalu, saya langsung tertarik. Tapi saya masih harus sedikit bersabar karena saat itu belum diterbitkan. Dan ketika kemarin tidak sengaja melihat novel ini di tumpukan new release, tanpa ragu saya langsung membawanya ke kasir. Saya termasuk tipe orang yang jarang membeli novel yang baru diterbitkan tanpa baca review sana-sini jika karya lain penulisnya belum pernah saya baca. Namun, ternyata saya membuat pilihan yang tepat untuk langsung membelinya, karena bahkan sebelum setengahnya saya selesaikan, ini jadi salah satu young adult favorit saya. Karena termasuk tipis—tidak sampai 300 halaman, A untuk Amanda saya selesaikan dengan sekali duduk.

Keunikan novel ini adalah gaya bahasanya, ditulis seperti bahasa terjemahan, dengan kultur yang bukan seperti di Indonesia (tahun ajaran baru yang dimulai di bulan September, suburban yang sepertinya betul-betul “damai”) namun banyak hal-hal yang juga sangat Indonesia, misalnya nama guru-guru di sekolah Amanda. Latarnya memang murni dibuat penulisnya, dengan kata lain tempat-tempat yang ada di novel ini tidak benar-benar ada. Namun, hal itu tidak membuatnya terasa dibuat-buat. Saya suka cara bercerita penulis yang mengalir dengan sudut pandang orang pertama yang membuat saya benar-benar percaya bahwa “Amanda” lah yang menceritakan kisahnya pada saya.

Favorit saya, tentu saja karakter-karakternya. Amanda dan isu yang dialaminya merupakan hal yang relatable dengan usia young adult, tetapi masih jarang dibahas oleh novel lain, yaitu impostor syndrome. Dia adalah seorang siswa SMA yang sangat pintar, bahkan bisa dibilang jenius, tapi penulisnya sama sekali tidak terkesan trying too hard atau berusaha menampilkan seberapa pintar dia dalam menyelipkan pengetahuan-pengetahuan fisika dan astronomi lainnya dalam candaan, percakapan, dan pemikiran Amanda. Dia juga seorang feminis (lagi-lagi isu yang menurut saya menarik untuk diangkat di dalam YA). Walaupun pintar, di luar permasalahan yang dialaminya, dia tetap saja anak remaja seumurannya ketika dihadapkan pada masalah percintaan :p

“Itu karena Tommy bukan tipe anak yang akan menelepon gadis incarannya setiap lima menit sekali. Dan itu bagus. Ada anak laki-laki yang tidak punya kehidupan sendiri, dan bertingkah seakan dunianya berputar mengelilingimu. Kau tidak butuh anak laki-laki seperti itu.” 

“Oh, tidak, kurasa aku ingin punya cowok yang menjadikanku pusat alam semestanya,” kataku.

Karakter lain juga membuat saya terkesan, tadinya saya pikir Helena dan teman-temannya akan jadi tipikal anak populer yang sering kita jumpai di fiksi tentang anak SMA, tapi ternyata mereka tidak sedangkal itu. Tommy merupakan karakter yang sangat manusiawi, hanya karena dia mengenal Amanda hampir seumur hidup, bukan berarti dia bisa memahaminya. Konflik Tommy dan Amanda, juga penyelesaiannya, terasa sangat pas.

Bab-bab pamungkas novel ini dieksekusi dengan sangat baik, dan itu membuat cerita di novel ini masih terbayang-bayang bahkan sampai saya bangun tidur pagi tadi.

“Dan dari situlah aku belajar bahwa kau selalu bisa berjalan pergi alih-alih menuruti kemarahan dan membuat lebih banyak masalah lagi. Dan bahwa temanmu akan tetap menjadi temanmu, terlepas dari perkataan orang mengenai kondisi mentalmu.”
Kebanyakan seri Young Adult bercerita tentang kehidupan tokoh-tokoh yang beranjak dewasa, atau selepas bangku SMA, namun di novel ini tokoh Amanda adalah siswi SMA berusia 17 tahun. Mungkin karena permasalahan tokohnya yang kompleks dan sangat angsty, jadi novel ini dikategorikan ke dalam Young Adult dan bukan TeenLit. But still, this novel impressed me, a lot :D Saya dengan senang hati memberikan 4 dari 5 bintang untuk novel ini, untuk cerita yang mengesankan dan kalimat-kalimat yang cerdas.
“Beberapa orang tidak pernah melihat ke atas. Mereka tidak pernah bertanya-tanya apa ada kehidupan lain di luar sana, tidak pernah memperhitungkan bahwa dilihat dari salah satu titik itu, planet ini hanyalah satu titik lainnya—tidak unik maupun istimewa, dan jelas bukan pusat alam semesta.

Dan untuk waktu yang lama, aku pun begitu. Aku lupa menghargai kenyataan bahwa atom-atom yang menyusun tubuhku berasal dari bintang-bintang. Dan setelah 13.8 miliar tahun, aku beruntung bisa hidup di sini. Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatku merasa berharga; aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri.”
Penggemar novel tentang mental illness issue atau fiksi yang dibumbui masalah psikologi dan feminisme tentu tidak boleh melewatkan A untuk Amanda!

(This review can also be viewed here)

No comments:

Post a Comment